Nubuat Pemimpin Akhir Zaman


 
 
 
 
 
 
5 Votes

Cerpen Anindita S. Thayf (Jawa Pos, 08 Januari 2017)

KETIKA istrinya sebentar lagi melahirkan, dia mendapati dirinya lebih banyak menghabiskan malam di teras, menjaga pintu—sekiranya potongan tripleks berengsel tali itu bisa disebut demikian—seakan ada yang hendak mencurinya. Dia berada di sana bukan sebagai suami siaga, melainkan kepala keluarga yang sedang banyak pikiran. Tidak bisa tidur selama berhari-hari hingga rasanya nyaris sinting. Membiarkan hujan menghipnotis dirinya sementara angin busuk sampah dekat situ mengurapi bulu-bulu hidungnya.
Di awal menikah, dia sempat memanggil istrinya “Putri Malu” sebab dialah “Sang Pangeran”. Saat itu, istana mereka berwujud gerobak tua yang mesti didorong ke sana-kemari pada siang hari dan diparkir pada malamnya. Walaupun tinggal dalam gerobak, Sang Pangeran dan Putri Malu hidup bahagia. Masa tersebut dikenangnya sebagai masa singkat yang indah.
Hingga muncullah satu makhluk merah jambu sebelas bulan kemudian, lantas menyusul adik-adiknya sepuluh bulan sekali. Tu, Wa, Ga, Pat, begitulah dia memberi nama keturunannya. Kemiskinan dan penderitaan membuatnya tidak mau susah-susah berpikir soal nama, apalagi memilih satu kata yang punya arti bagus atau manis. Yang pasti, setelah kehadiran anak keempat, si Pat, dia menyadari gerobaknya kian sesak. Sejak itu dia mulai bermimpi tentang rumah yang lebih lapang.
Dengan mengatasnamakan kepentingan bersama, si Tu yang sudah berumur empat tahun, juga ketiga adik dan ibunya, dia libatkan dalam apa yang disebutnya proyek masa depan. Mereka diwajibkan bekerja apa saja demi mengisi tabungan keluarga. Untunglah, sebelum malaikat maut tergerak mengadopsi anak-anak malang itu, dia mampu menyewa sebuah rumah yang mirip kotak sepatu di Perkampungan Tepi Rel.
Rumahnya berukuran tiga lembar bentangan koran kali lima buntal karung, berlantai tanah, beratap seng, berdinding papan tipis. Perabotnya hanya sebuah lemari kayu yang dibuat dari bekas gerobak tuanya. Pada tahun-tahun awal masa sewa, rumah-kotak sepatu itu berhasil dilegakannya dengan menyuruh semua anak bekerja pada siang hari, sebelum kemudian mengandangkan mereka dalam lemari pada malamnya. Empat rak untuk empat anak sekurus sapu. Tu, si sulung yang tahan banting, menempati tempat favorit laba-laba: atap lemari.
Di saat-saat seperti itu, jika menatap rumah sewanya, dia selalu hampir menangis saking terharunya. Tak pernah terbayangkan akhirnya dia bisa membebaskan punggungnya dari kuntitan gerobak, apalagi punya sesuatu di mana dia bisa menggantung baju terbaiknya, memasang poster di dinding, dan membiarkan istrinya menghiasi teras dengan kaleng-kaleng tanaman cabai yang tumbuh di atas kuburan ari-ari anak mereka. Dia juga bisa tidur dengan gaya telentang ala bintang laut, bahkan meniduri istrinya setelah lelah saling gelundung. Tak heran, setelah cuti hamil selama satu tahun, perut istrinya kembali menampakkan tanda-tanda hamil. Satu makhluk merah jambu sedang dalam perjalanan. Kali ini dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Dari pengalaman dia belajar, calon bayi sanggup menghasilkan uang lebih banyak daripada seorang bocah penuh ingus. Jika bukan atas usaha istrinya yang mengemis bersama calon anak kelimanya, membayar biaya sewa rumah mestilah terasa jauh lebih sulit. Dia pun berencana mengundang lebih banyak makhluk merah jambu ke rumah mereka. Mengabaikan istrinya yang menjawab, “Aku tidak siap, Suamiku. Tidak mau lagi,” dia terus memacu mesin produksinya sepenuh semangat. Merasa lebih hebat dan kaya setiap kali satu makhluk merah jambu berhasil dilahirkan istrinya. Menjadi begitu peduli pada perempuan itu setiap jelang melahirkan, tapi segera mengabaikannya begitu semuanya selesai dengan lancar. Demi uang, dia akan melakukan apa saja.
Seiring bertambah tahun, bertambah besar pula anak-anaknya, pun jumlahnya. Kepada mereka, dia lebih sering berseru, “Hey, Kau! Mengemislah di sana,” atau, “Kau, mencopetlah bersama saudaramu!” tanpa pernah mau mengingat nama-nama mereka yang saat itu sudah berjumlah sepuluh. Di matanya, semua anaknya berwarna sama, berpostur sebangun, dan berwajah seekspresi; hitam, garis lurus, dan memelas.
Ketika istrinya melahirkan Luh, si anak kesepuluh, dia mendapati satu kenyataan yang menurunkan semangat. Rumahnya ternyata telah dijauhi lapang. Pada malam hari, ketika waktu tidur tiba, rumah tersebut menjelma bak dapur pengasapan ikan. Tubuh-tubuh berkeringat dijejer dan dijejalkan pada setiap celah kosong. Dua belas orang dalam satu ruangan. Lima yang paling kurus tidur di dalam lemari. Lima yang berbadan besar berbaring miring saling menempel di atas lantai tanah tanpa menyisakan ruang untuk menggaruk punggung sendiri. Sisanya bertengger pada tumpukan karung.
“Kita berhenti sampai di sini saja,” putusnya pada akhirnya, yang langsung disambut istrinya dengan sukacita.
Terhitung sejak hari itu, dia berhenti menyentuh sang istri dan beralih menyewa pelacur paling murah. Hingga tibalah hari itu.
Hari raya. Hari koin-koin berjatuhan dari langit. Tangan-tangan dekil para pengemis berebutan menadahnya mumpung orang kaya sedang berbaik hati. Hasilnya, anak-anaknya panen raya. Mereka pun bersenang-senang pada hari itu. Mendatangi pertokoan untuk beli baju, sepatu, bahkan ponsel yang dipakainya saat itu juga sebab beberapa hari lagi akan dijual. Memasuki restoran untuk makan enak sepuasnya sebelum esok datang bersama kehidupan yang sulit dan kejam. Dan, ketika anak-anak memutuskan mengunjungi taman bermain, dia dan istrinya yang kekenyangan pulang ke rumah. Bermaksud tidur siang sebentar, tapi pada akhirnya tergoda bercinta siang-siang. Enam ronde permainan cinta setelah libur panjang yang langsung menandaskan mani simpanannya dan belakangan membuat istrinya berubah bagai mayat korban kapal tenggelam: membengkak dan hamil.
Berbeda dari sebelumnya, kehamilan istrinya kali ini tidak disyukuri karena tidak menghasilkan apa-apa. Gara-gara badan yang membengkak, istrinya hanya mampu menjadi penunggu rumah sambil tiduran. Menyesaki sudut rumah dengan uap keringatnya yang berlebihan dan membuat lantai rumah terlihat amblas beberapa senti, terutama pada petak tempatnya berbaring. Dia pun kerap dihinggapi perasaan seolah tengah memelihara sapi.
Ramal seorang dukun, “Istrimu akan melahirkan anak raksasa.”
Tapi, istrinya membantah, “Bukan raksasa. Ini sepertinya kembar.”
Dan, menurut bidan di klinik, “Kelahiran seperti itu akan sulit. Melahirkanlah di klinikku saja.”
Namun, dia sudah punya keputusan sendiri. Calon pendatang baru yang tidak mampu menghasilkan uang tidak akan mendapat tempat dalam keluarganya. Dia pun mulai bersikap tak acuh pada istrinya. Sebaliknya, perempuan itu justru makin perhatian pada janin dalam perutnya bahkan sudah menetapkan nama, “Sebelas, Duabelas,” tanpa pernah tahu keinginan terdalam suaminya: agar makhluk-makhluk merah jambu itu tiba di tujuan dengan tidak selamat.
***
Kelahiran itu terjadi pukul tiga pagi tepat di tanggal yang istimewa: tanggal pertama di tahun yang baru. Di tengah hujan berhari-hari yang enggan berhenti, di atas tanah yang melembek serupa kardus basah, dua makhluk merah jambu meluncur keluar dari kedalaman selangkang sang ibu. Berkapsul lendir, keduanya tiba di bumi tanpa menangis, dan segera disambut oleh tangan dingin banjir yang datang dari Sungai Purba dekat situ. Tanpa sempat dibiarkan mengenali wajah ibunya, kedua makhluk berkapsul lendir itu langsung diajak mengapung ke luar rumah, melewati sang ayah yang mendadak bisa tidur pulas di teras. Oleh banjir, keduanya dibawa menuju pusat ibu kota.
Sementara itu di seantero ibu kota, ribuan makhluk merah jambu lain yang tiba lebih dulu di bumi telah berbaring mengisi ranjang-ranjang rumah sakit, boks-boks bayi, hingga belahan dada perempuan yang melahirkannya. Sebagian besar dari mereka diciduk paksa dari kenyamanan kapsul berlendirnya oleh tim dokter tepat ketika tanggal istimewa dimulai. Melupakan betapa sempitnya ruang hidup yang tersisa di ibu kota, setiap orang tua ingin keturunannya memulai hidup yang baru di tanggal yang dianggap baik ini. Beruntung, alam yang bijaksana menemukan pemecahannya. Tanggal istimewa ternyata tidak hanya baik untuk memulai sesuatu, tapi juga mengakhirinya.
Alam pun menyuruh sungai memanggil banjir. Memerintahkan laut mengirim tsunami. Meminta langit menurunkan lebih banyak hujan. Perlahan tapi pasti, tanah ibu kota yang sudah selembek kardus basah mulai bergerak. Melempung, melumpur, lalu mencair. Menelan semua gedung, rumah, jembatan, jalanan, dan apa saja yang berdiri gagah di atasnya. Mengusir para penghuni lama demi memberi tempat kepada para pendatang baru: bayi-bayi berkulit merah jambu pengundang rezeki.
Di tengah semua itu, makhluk-mahkluk merah jambu berhasil selamat dengan meniru kecebong. Mengapung kian kemari di atas reruntuhan ibu kota dipandu tali pusar, sebelum kemudian berhenti di tempat yang dipilih. Tempat yang tepat untuk memulai hidup yang benar-benar baru.
Di pusat ibu kota, di atas bangkai sebuah istana besar berdinding putih yang ditindih Tugu Mercusuar roboh, dua sosok makhluk merah jambu telah melabuhkan kapsul berlendir masing-masing dengan mantap. Satu di sebelah kanan, lainnya di sebelah kiri.
Dua puluh menit sebelumnya, ketika tsunami hampir tiba, ibu keduanya yang pingsan usai melahirkan sempat disambangi mimpi indah. Sepasang anak kembarnya tenyata mampu menghasilkan rezeki, bahkan berlimpah—sayangnya, sang ayah tak bisa menjadi saksi karena telah pindah rumah ke dasar laut bersama kepiting karang. Kelak, kedua anaknya akan menjadi sepasang pemimpin bangsa masa depan: Presiden Sebelas dan Wakil Presiden Duabelas. ***


ANINDITA S. THAYF, lahir 5 April 1978 di Makassar. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara 1 lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2008 dan finalis Khatulistiwa Literary Award 2009 serta diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014). Sedangkan novel Jejak Kala (Sheila, 2009) mendapatkan penghargaan Sastra Yog yakarta 2010 dari Balai Bahasa Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar