DULLOH DAN PENGANTIN KECIL



Lelaki muda yang memakai earphone itu terus menikmati pemandangan hijau di jendela kereta api yang sedari tadi melintasi persawahan, sembari sesekali memeriksa telpon pintarnya mengganti playlist musik. Kuperhatikan dua jari kanannya, jari manis dan kelingking sedang diperban. Ingin mengajaknya berbicara dari pada membunuh bosan sendirian, tapi ia enggan menoleh kepadaku yang duduk dihadapannya.

Biasanya aku selalu membawa buku kemanapun pergi, apalagi jika perjalanan jauh. Namun siang tadi terlupa tidak masuk dalam tas ranselku. Alhasil, selama perjalanan hanya menyibukkan diri membuka sosial media yang terkadang putus-putus koneksi internetnya. Kantuk menyerang, aku berusaha tertidur. Lelaki di depanku mengedarkan pandang keseantero gerbong kereta sekenanya, lalu ia menyibukkan dirinya memencet telepon pintarnya, sesekali menjentikkan senyum. Ah, mungkin ia sedang asyik mengobrol dalam grup di media sosialnya.

Ya, beginilah kehidupan jaman sekarang. Manusia ramai dalam kediamannya. Tanpa mengucap kata dan mengabaikan yang ada di sekelilingnya, namun kata dan pikirannya dapat saja melintas jauh melebihi jarak yang ia tempuh. Manusia itu diam, namun otaknya bisa saja meledak-ledak sedang memikirkan banyak hal. Tubuh boleh saja terkurung dalam kereta, tapi percakapan dalam grup-grup media sosial, berdiskusi, bertukar berita, atau bahkan nyampah di sosial media dapat terus berjalan tanpa kenal jam, ataupun jarak. Dapat mengaku saling kenal meski hanya pernah bercakap dalam ruang maya.

Tidak sedikit dari golongan muda jaman sekarang yang menisbihkan diri menjadi mayarakat informasi, dimana eksis sudah menjadi keharusan. Asal tampil, dijangkiti pikiran gampangan dengan solusi yang maunya praktis. Yang ia tahu bahwa popularisme lebih bernilai ketimbang gagasan, karena yang diikuti adalah kebenaran mayoritas. Ah, sepertinya otakku terlalu beterbangan jauh melampaui kediamanku.
“Turun dimana, Mas?” akhirnya pecah juga diamku, memancing percakapan dengannya.
“Di Jember, Mbak” jawabnya ramah.
“Saya juga Jember, Mas. Tapi nanti turun di Kalisat”

Percakapan berlanjut lebih renyah. Yang kutahu kedua jarinya diperban karena 2 hari yang lalu kukunya diekstraksi, atau dicabut karena mengalami infeksi jamur. Dia seorang arsitek yang sedang mengerjakan proyek bangunan di Surabaya, hendak pulang untuk mengobati rasa rindu pada anak bininya. Ah ya, memang apalagi yang lebih menyiksa ketimbang rindu yang bertalu-talu pada keluarga.
“Loh sudah berkeluarga, Mas? Memangnya sampeyan umur berapa sekarang?”
“26, Mbak. Dulu nikah sewaktu umur 19 tahun dan istri saya umur 16 tahun. Untung saja masih dibolehkan terus kuliah. Hehe”

Ya, masih tetap terheran-heran meski hal yang seperti itu masih banyak terjadi di pedesaan, pernikahan dini, kecil sudah menjadi pengantin. Laki-laki yang sudah pintar memegang cangkul dan arit, lalu dengannya mampu menghasilkan lembaran uang, yang meskipun tak seberapa, itu sudah dibilang pantas untuk menikah. Gadis belia yang lebih dibilang masih anak-anak, asal sudah pintar berberes rumah, memasak, sudah menstruasi dan bisa memoles bedaknya sendiri sudah dianggap dewasa untuk menikah. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, usia 20 belum menikah sudah diroyok dibilang perawan tua.

Jadi teringat pada ponakanku yang sejak umur 12 tahun ditunangkan, ponakan lainnya ketika umur 15 dinikahkan dengan teman sekelasnya. Nikah sirri, karena keduanya sudah kumpul tidur, lalu sekolah mereka kandas. Entah bagaimana lagi kesudahannya hidup mereka, karena setelah berhenti sekolah keduanya memilih menjadi TKI di Malaysia ikut Pamannnya.

Ah, sudah 5 bulan aku tak pulang ke rumah, sibuk bekerja di Surabaya. Aku peluk Ibu yang semakin sepuh dimakan usia, namun tak pernah mau memperlihatkan ubannya. Meski berkali-kali dibilang bahwa semir rambut warna hitam itu haram, ia tidak peduli. Kulitnya memang tidak seberapa keriput, ia pintar merawat tubuhnya, setiap pagi sehabis mencuci beras, air cucian beras yang pertama-tama yang masih sangat putih itu ia cucikan pula ke wajahnya, saat nasi sudah masak, ia uap-uapkan wajahnya pada nasi yang masih mengepul itu, biar awet muda katanya. Ia masih sangat tradisional, memasak masih dengan tungku, tak mau dengan kompor gas, meski kakakku sudah membelikannya. Takut meledak katanya.

“Ada acara apa itu, Bu?” tanyaku menyelidik, sebab tak seberapa jauh dari rumah terdengar suara nyanyian dangdut kencang sekali, seperti ada hajatan besar.
“Itu Dulloh nikah. Sama Surati, cucunya Mak Ndut”
Ah, bertambah lagi pengantin kecil, pernikahan dini, batinku. Dulloh 27 tahun dan Surati baru 15 tahun. Kudengar sebelum menikah, Surati dibikinkan KTP dengan jalan menuakan usianya agar dapat disetujui oleh pegawai KUA. Aku sendiri bingung, hal yang demikian ini salah siapa hingga pernikahan dini masih saja langgeng meski jaman sudah semodern ini.

Nama aslinya Abdullah. Namun orang-orang desa memanggilnya Dulloh, ia pernah menjadi teman sekelasku ketika SD dulu. Sempat 4 kali tidak naik kelas. Dulloh si jangkung kurus itu adalah anak yang pendiam, tetap diam meski teman-teman selalu puas menjadikannya bahan ejekan. PR dan nilai ujiannya tak pernah lebih dari 30, dari skala 100. Dia dijauhi teman-teman, apalagi karena bau badan dan telinganya yang mengeluarkan cairan hijau berbau busuk. Ketika kelas 5, wali kelasku membentuk kelompok belajar yang isinya 4-5 orang yang rumahnya berdekatan agar mudah saat mengerjakan PR sepulang sekolah. Tak ada yang mau sekelompok dengan Dulloh. Aku menawarkan diri, jadilah aku dan Dulloh satu tim, cuma berdua.
Siapa yang mau dibilang bodoh? Aku rasa begitu pula Dulloh. Setiap kali ada PR aku datang ke rumahnya yang berjarak 5 rumah dari rumahku, karena aku tahu dia tidak akan mau datang ke rumahku. Aku fikir jika mengajarinya dengan pelan dan sabar dia bisa mengerti. Berkali-kali aku ajari dia berhitung tetap saja dia tidak bisa mengerjakannya sendiri. Kusuruh baca, bacaannya masih saja belepotan, kalah sama anak kelas 2. Aku jengkel juga akhirnya, kukerjakan saja PR-ku sembari satu dua menahan nafas karena bau badan dan telinganya, aku menerangkan sekenanya tak peduli dia paham atau tidak, dia diam, dan kubiarkan dia mencontek saja. Karena meski aku ulang dia tetap tidak paham. Bahkan orang tuanyapun sudah menyerah untuk mengajari.

Aku tidak seberapa paham dengan kondisi Dulloh kala itu, sewaktu aku bertanya kenapa dia susah sekali membaca dan berhitung. Dia hanya menjawab miris, “Karena aku bodoh”, matanya nanar menahan tangis. Aku tak sampai hati. Hingga kenaikan kelas tiba, aku yang girang mendapat juara kelas seperti biasanya, Dulloh harus bersedih hati karena tinggal kelas lagi. Dia pernah bilang, pada saat membaca, huruf-huruf dan angka-angka itu campur aduk bentuknya tidak bisa ia kenali. Mungkin sekarang aku paham, itulah kiranya yang disebut Disleksia. Orang desa mana mengerti itu, yang mereka mengerti bahwa orang yang bebal tidak bisa cepat belajar meski diulang-ulang itu adalah orang bodoh.

Dulloh sekarang berada di pelaminan dengan Surati, pelaminan sederhana yang dihias seadanya, tidak ada dayang atau pagar ayu. Hanya kursi sofa yang beroleh pinjam dari Bu Kades dan di kanan kiri kursi ada hiasan janur yang dililitkan menjuntai sedemikian rupa pada batang pisang dan buah-buahan yang ditancapkan, dibelakang sofa terdapat hiasan dari kertas bekas wadah semen yang dibentuk sedemikian rupa dan di cat pylox sekenanya menyerupai bebatuan dan ditempeli hiasan bunga-bungaan di pinggir-pinggirnya. Kudengar itu idenya Sidi (nama aslinya Rosyidi). Hajatan pernikahan sederhana ini kata Ibuku sampai menjaul seekor sapi dan sepetak sawah milik orang tua Dulloh, karena keluarga Surati juga tak kalah susahnya.

Surati, si pengantin kecil itu tiada henti menebar senyum pada tamu undangan, dia manja menggandeng tangan Dulloh setiap kali sesi foto. Sementara Dulloh masih tetap seperti Dulloh yang aku kenal dulu, diam, dingin dan tanpa ekspresi.
“Kamu sendiri kapan nyusul, Mil?” pertanyaan semacam itu dari dulu tak pernah mengusikku sekalipun banyak yang menganggapku perawan tua ketika sepupu atau ponakanku sudah mendahuluiku menikah. Biasanya aku hanya menjawab, “Tunggu saja, jika sudah waktunya pasti nanti aku menikah juga”. Tapi kali ini berbeda. Entahlah, mungkin karena aku sudah 24 tahun. Keinginan untuk berkeluarga itu semakin kuat, nakal menggoda angan.
Surabaya, 2 Juni 2016

 

LISEH
Lahir di Jember 1993 lalu, sekarang sedang menempuh S1 Pendidikan Apoteker Fakultas Farmasi di Universitas Airlangga. Beberapa karyan cerpenya yang diterbitkan adalah cerpen “Si Katak dalam Tempurung” dalam antologi cerpen “Mahasantri Airlangga” (2012), “Agavatra” dalam antologi cerpen “Nyanyian Arsua” (2013).

Alamat : Jl. Jojoran I no. 04 Surabaya
No. Hp : 081252536148
Email: liseh4nation@gmail.com
Fb: Liseh (Muhliseh)
Instagram: @ls_liseh
Twitter: @_liseh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar